Menilai Kafir atau Muslim adalah Hak Allah
Muhammad Ainun Nadjib atau biasa dikenal Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun (lahir di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953.
"Aku tidak bisa menuduh orang lain itu kafir atau muslim. Bahkan Aku menyebut diriku muslim saja tidak berani, karena itu hak prerogatif Allah untuk menilai aku ini muslim atau bukan, " kata Cak Nun
Statement di atas adalah bentuk kesadaran manusia yang biso rumongso bukan rumongso biso , kesadaran untuk rendah hati di hadapan manusia dan Allah. Kesadaran dari seseorang yang merasa ibadahnya masih belum apa-apa dibandingkan kanjeng Nabi, sehingga sungkan menyebut dirinya muslim di hadapan Allah.
Tentu saja itu bukan bentuk rasa minder menjadi muslim. Pahami konteks dan nuansanya.
Di negeri ini nggak cuman krisis kesempitan dan kedangkalan berpikir, tapi juga krisis rendah hati. Banyak orang yang hapal Al Qur'an dan ngajinya fasih tapi malah menjadikannya tinggi hati, merasa paling alim, paling benar, yang lain masuk neraka.
Banyak orang di luar jamaah Maiyah (istilah untuk jamaahnya Cak Nun) yang memahami omongan Cak Nun dengan apa adanya. Tidak dipahami konteksnya dan nuansanya, juga tidak jernih sampai ke akarnya. Cak Nun berdakwah pun diejek mirip agama sebelah, karena diselingi musik di jedah dakwahnya. Musik itu cuman kendaraan, nggak ada agamanya. Nggak masalah kalau dijadikan kendaraan menuju Allah.
Beliau meneladani cara dakwah Sunan Kalijaga yang berdakwah dengan pendekatan kultural. Cara dakwah yang nyaris tanpa simbol Islam, tanpa teriakan "Allahu Akbar!", tapi secara subtansi sangat Islam, sangat rahmatan lil alamin, tanpa perlu merendahkan orang lain untuk meninggikan diri. Sunan Kalijaga adalah contoh ulama yang paling sukses berdakwah dengan cara yang sangat Jawa, sama sekali tanpa kostum Arab.
Buat apa sih bergamis tapi hobinya bikin status di medsos yang berpotensi polemik, menonjol-nonjolkan diri, terlihat benar dengan cara menyalahkan orang lain. Terkenal dengan cara yang nggilani. Apalagi dia bergelar Ulama. Itu bukan teladan Nabi. Kanjeng Nabi itu manusia yang memanusiakan manusia.
Jangan bercita-cita terkenal, tapi bercita-citalah jadi orang yang bermanfaat bagi orang banyak, dengan begitu otomatis akan terkenal dan terpaksa kaya. Itu yang dilakukan Cak Nun. Dengan stamina yang luar biasa di usia senja hampir tiap hari mengisi berbagai acara dimana-mana. Tidak pernah berhenti membesarkan hati rakyat.
Cak Nun tidak memakai kostum Islam (gamis dan sejenisnya) itu dalam rangka menyembunyikan ke-Ulama-annya, juga karena lebih menghargai dan mencintai budaya sendiri. Orang Jawa kok berbusana Arab. Gamis itu bukan baju karangan Nabi, Nabi berbusana begitu karena menghargai budaya Arab. Dan semua orang Arab di jaman nabi, model pakaiannya seperti itu. Nggak cuma Nabi Muhammad, Abu Jahal dan lainnya juga berpakaian seperti itu. Jadi sebenarnya sunnah Rasul yang paling mendasar adalah Akhlaknya bukan kostumnya.
Tidak masalah orang yang bergamis dan berserban. Malah salut sama mereka yang menunjukan kecintaannya pada Rasulullah dengan meniru persis apa yang ada di diri Rasul.
Tapi perlu diketahui bahwa baju Rasulullah tidak sebagus dan sekinclong yang dipakai kebanyakan orang sekarang.
Menurutku maksud yang tersirat dari statement Cak Nun di atas adalah nggak usah ngurusi kafirnya orang lain, urusi kafirmu sendiri. Sibuklah memperbaiki kesalahan diri, nggak usah membesar-besarkan kesalahan orang lain sampai lupa kebaikannya. Juga jangan menertawakan kebodohan orang lain, pandai-pandailah menertawakan kebodohan sendiri.
Kalau kata Gus Dur, 'Akeh kang apal Qur'an Hadiste. Seneng Ngafirkeh marang liyane, Kafire dewe Gak di gathekke.' (Syi'ir Tanpo Waton).
Intine jangan ngafir-ngafirno uwong liyo, opo Islammu wis bener?
Kafir banyak jenisnya. Aku sendiri nggak paham dan nggak mau menambah file di kepalaku soal penggolongan orang kafir. Lha wong mikir calon bojo wae mumet kog.
Yang penting sebisa-bisa mungkin meniru akhlaknya Kanjeng Nabi. Nek luput yo gak nemen-nemen. Tuhan tidak menagih di luar batas kemampuan hambanya. Sak kuat-kuatmu.
Sekian....